Inilah kisah UKDI(Ujian Kompetensi Dokter Indonesia), si penguji akhir jalan. Meski dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraannya murni demi kualitas, UKDI masih saja menimbulkan pro dan kontra. Padalah menurur dr. Sugito Wonodirekso, MS selaku ketua penyelenggara UKDI, mufakat dari seluruh komunitas kedokteran di Indonesia tentang UKDI mutlak diperlukan. Namun hingga kini masih ada pihak yang mempertanyakan kelayakan UKDI. Ada wacana yang beranggapan bahwa UKDI sangat memberatkan seorang mahasiswa untuk menjadi dokter. Pandangan tersebut beranggapan, sangat disayangkan apabila seorang mahasiswa dinilai tidak layak menjadi dokter hanya melalui sebuah ujian tulis. Padahal tujuh kompetensi utama dari diri seorang dokter dalam kurikulum KBK 2005 tidak semata-mata dapat diukur melalui ujian tulis. Ketujuh kompetensi yang dimaksud adalah lomunikasi, keterampilan, ilmu, pengelolaan masalah, teknologi informasi, belajar sepanjang hayat, serta penerapan etika.
Meninjau Ulang Pencapaian UKDI
Bila ditilik lebih lanjut, sejak pertama kali dilaksanakan pada 2007, UKDI telah berhasil menorehkan sebuah prestasi. Prof. DR. dr. Menaldi Rasmin, SpKK(K), mengatakan bahwa nilai rata-rata UKDI terus meningkat tajam. Artinya UKDI boleh dikatakan telah berhasil menjadi indicator peningkatan prestasi lulusan bangsa. Disamping menguji UKDI dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi proses pendidikan kedokteran. Pasalnya hasil UKDI tidak selalu sesuai dengan yang diperkirakan diatas kertas. Universitas dengan akreditasi A ternyata rata-rata nilai UKDI mahasiswanya tidak memenuhi harapan sedangkan yang berakreditasi rendah dapat membuktikan dirinya sendiri melalui UKDI. Dengan demikian, selain memastikan kualitas lulusan dokter, UKDI juga dapat menjadi bahan evaluasi bagi institusi pendidikan untuk mempertangguang jawabkan lulusannya.
Pendidikan Kedokteran Butuh Kontrol
Dalam bahasa yang lebih sederhana, yang ingin dicapai dari UKDI adalah kontrol kualitas. Seorang mahasiswa kedokteran harus memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat melanjutkan ke tingkat kompetensi berikutnya, sistem demi sistem. Sebagai contoh, di FKUI, sebelum memasuki modul tumbuh kembang, setiap mahasiswa dituntut untuk sudah melewati modul sel dan genetika. Sayang walaupun dinilai lebih efektif, sistem pengajaran KBK akan membentuk tingkatan-tingkatan kompetensi selama proses pelaksanaan. Padahal dalam mengobati pasien seorang dokter harus berfikir secara holistik. Untuk itu dibutuhkan sebuah ujian komprehensif untuk menilai kemampuan sesungguhnya seorang dokter. Cara yang paling feasible untuk dilakukan adalah melakukan ujian tulis.
Menimbang Soal Keadilan UKDI
“ Sebenarnya pembuatan soal UKDI sudah diusahakan seadil mungkin,” ungkap Menaldi. Yang dimaksudkan adalah dalam proses pembuatannya, soal yang akan diujikan dalam UKDI tidak hanya dibuat oleh beberapa pihak tertentu, tetapi melalui beberapa tahapanyang dikerjakan bersama oleh seluruh 52 fakultas kedokteran di Indonesia. Seluruh institusi pendidikan diwajibkan membuat soal dengan standar yang telah ditentukan. Kemudian di evaluasi lagi oleh mitra bestari agar memiliki standar yang merata, dengan tetap mengedepankan kualitas. Barulah soal UKDI rampung dibuat. Logikanya dengan adanya sumbangan soal dari seluruh pihak, soal gabungan yang terbentuk sudah mewakili setiap pihak. Jadi apabila ada mahasiswa yang tidak lulus, kesalahan buka terletak pada Komite Bersama UKDI sebagai penyelenggara, tetapi antara institusi atau si calon dokter itu sendiri.
Walaupun UKDI menjadi momok tersendiri bagi pesertanya, kualitas dan citra dokter Indonesia tetap harus menjadi prioritas. UKDI hanya menjadi satu dari sekian banyak ujian dan tantangan dokter Indonesia. Semua setuju bahwa dokter Indonesia harus memiliki kualitas Internasional. Jika demikian, mengapa harus takut dengan ujian tulis?
Sumber: Media Aesculapius